Secara etimologi, kaligrafi merupakan
penyederhanaan dari calligraphy (Inggris) yang berarti tulisan tangan
yang sangat elok, tulisan indah. Dalam bahasa Yunani, kata ini diambil dari
kata kallos yang berarti beauty (indah) dan graphein
yang artinya to write (menulis) berarti tulisan atau aksara. Dengan
demikian kaligrafi dalam bahasa Yunani berarti tulisan yang indah atau seni
tulisan indah. Sementara dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat
yang berarti garis atau baris.
Secara terminologi para ahli berbeda dalam
mendefinisikannya, Hakim al-Rum misalnya mengatakan, kaligrafi adalah geometri
spiritual yang diekspresikan dengan perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab
menuturkan, kaligrafi adalah pokok dalam jiwa yang diekspresikan dengan indra.
Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh Yaqut
al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan
alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah bin Abbas mengistilahkan kaligrafi
dengan lisân al-yadd atau lidahnya tangan. Situmorang mengartikan
kaligrafi sebagai suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan
suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang
terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Definisi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan
oleh Syekh Syamsuddin al-Akfani, sebagaimana dikutip Sirojuddin, yaitu suatu
ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan tata
cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis
diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak
perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana
untuk menggubahnya.
B. Sejarah Perkembangan Kaligrafi
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika
terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan
non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi
bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai
media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk
seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara
perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan
di lapangan kesenian.[5]
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat
ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada
masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih
tertinggal jauh bila dibandingkan dengan beberapa bangsa di belahan dunia
lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius.
Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa
India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji,
bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan
Paku dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis
huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa
yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan
keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komunikasi dari mulut ke
mulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf.
Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan
ditandai pemajangan al-Mu’alaqât (syair-syair masterpiece yang
ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi
dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab
Utara tahun 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari
inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari
huruf Nabati, yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam
rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat
Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar, tulisan tersebut berkembang
pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah
(661-750 M)
Salah satu bentuk tulisan yang digandrungi bangsa
Arab adalah seni kaligrafi.[6] Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama
kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada
tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan
Madinah yaitu Mudawwar (bundar), mutsallats (segitiga) dan Ti’im
(kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua
yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya muqawwar
berciri lembut, lentur dan gaya mabsut berciri kaku dan terdiri dari
goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya ini pun menyebabkan timbulnya
pembentukan sejumlah gaya lain lagi yang diantaranya Mail (miring), Masyq
(membesar) dan Naskh (inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah
oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun
melahirkan beberapa variasi, baik pada garis vertikal maupun horizontalnya,
baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi
Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar
(dianyam), Mutarabith
Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya
kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi,
baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunaannya. Dalam hal ini
penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang paling
termashyur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan
empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf dan Tsuluts.
Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain
sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak
lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan
kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi
tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana.
Sedangkan tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat
luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu
banyak terungkap oleh karena khalifah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah
menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalan demi kepentingan politis.
Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam
yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi
pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah
(750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin
berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir,
diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas
As-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur
(754-775) dan al-Mahdi (775-786). Ishaq memberikan kontribusi yang besar bagi
pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan mempopulerkan
pemakaiannya. Kemudian kaligrafer yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil
kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari
sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang
tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar
kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi
pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang
rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan
baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan
lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan
disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga
mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah)
yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’
dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts
menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser
dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh
murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn as-Simsimani dan Muhammad
ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab.
Ibnu Bawwab (413 H) mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu
Muqlah yang dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf bersandar yang
indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi
dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang
tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi
yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut
dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur tersebut. Yaqut adalah
kaligrafer besar dimasa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini
pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah
menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa
Ummayah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali
penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang.
Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh
Bani Abbasiyah daripada Bani Ummayah yang hanya mendominasi unsur ornamen
floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
3. Perkembangan Kaligrafi di Belahan Barat Islam
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur
(al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal
juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh
negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan
ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang
dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad
(Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya
diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah
kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan
puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali
tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah
memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu
Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum
terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun
mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing
Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Qur’an dalam gaya Muhaqqaq
tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan
lain-lain.
Dinasti al-Khan yang bertahan sampai abad ke-14
digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal
sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan
seniman mendapat perhatian istimewa. Ia mempunya perhatian besar terhadap
kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh
puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad
al-Tughra’i yang menyalin al-Qur’an tahun 1408 dalam gaya Muhaqqaq
emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi
salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang
abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia
dan Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah
Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq
yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan Ta’liq
adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq
akhirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk
menyalin sastra Persia.
Di kawasan India dan Afganistan berkembang
kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada
abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis
vertikal yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas
lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini.
Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan
Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab
diperintah oleh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi
sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan
dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini
memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada
kalangan terpelajar dan seniman saja, tetapi juga beberapa sultan bahkan
dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut
ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun
dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai
kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang
melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal
pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya,
berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya.
Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-Amiz, Diwani
dan Diwani Jali. Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang
dikembangkan dari Ta’liq dan Nasta’liq awal. Gaya ini
biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun
pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan
pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh
Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan
melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan
melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang
juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya
dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
D. Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan
masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar
ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M.[7]
Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi,
menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari
pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.[8]
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi
kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti
kayu, kertas, logam, kaca dan media lainnya. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf
al-Qur’an tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor.
Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh para ulama besar di
pesantren-pesantren smenjak abad ke-16, meskipun tidak semua ulama dan santri
yang piawai menulis kaligrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari
seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20,
karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku
pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang
kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar 1961 karangan Muhammad Abdur Muhili
berjudul “Tulisan Indah” serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul “Khat,
Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab” tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan
sosoknya lebih nyata dalam kitab-kitab atau buku-buku agama hasil goresan
tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H.
Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim bakary, H.M. Salim Fachry dan
K.H. Rofi’i Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi
paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq),
K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan
Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari
Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku
kaligrafi dan mengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak
hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai
dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini
kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu
untuk menggambar mahluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki
keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan
ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara
terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai
muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada
pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya
MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa
Islam se-Dunia tahun 1980 di Balai Sidang Jakarta dan pameran MTQ Nasional XII
di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran
Kaligrafi islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Yahun Baru
Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelopori kaligrafi lukis
adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung asal
Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang) dan H. Amang Rahman
(Surabaya) dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali,
Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan
bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkan dari
kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain
huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni
lujkis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan
reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapin
hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para
khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media
dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan
mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka
adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya
dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia
adalah dimasukkannya seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam
even Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Pada awalnya dipicu oleh sayembara
kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di
Padang 1983.[9] Pada even tersebut, seorang khattath menulis tiga
kategori sekaligus: Naskah, Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal istilah ‘Three
in One”. Baru pada pelaksanaan MTQ Nasional di Bandar Lampung tahun 1988 (atau
di Yogyakarta tahun 1991) konsep “Three in One” dihapus. Barangkali dengan
mempertimbangkan profesionalitas (baca: spesialisasi) dan kesemarakan
musabaqah. Di antara para khattath golongan penulisan Naskah yang telah
menjuarai MKQ tingkat Nasional adalah Mahmud Arham (1991, Jawa Barat), Nur Aufa
Soddiq (Jawa Tengah), Muhammad Noor Syukron (1994, Jawa Tengah), Ahmad Hawi
Hasan (1997, Jawa Barat), dan Isep Misbah (2000, DKI Jakarta).[10]
E. Genealogi dan Landasan Epistemologi
Kaligrafi
Secara genalogis, banyak pendapat yang
mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk
mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan
pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam-lah yang pertama kali
mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah Swt, sebagaiman
firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita
keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem
tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sansekerta adalah Devanagari,
yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya
mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncullah tafsiran-tafsiran baru tentang
asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau
“lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun,
kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung
lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan
dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi.
Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian
juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh
kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya, tulisan tersebut berdasarkan pada
gambar-gambar.[11] Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph
berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta
Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik
yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun.[12] Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya
tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku,[13] tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai
simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud.
Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab. Dari
cikal bakal ini kemudian berkembang menjadi berbagai model dan aliran kaligrafi
sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
Sementara terkait dengan landasan epistemologis,
kaligrafi menemui jalan buntu karena ia termasuk dalam wilayah kajian seni
Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi[14] sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia
seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan
mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni.
Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai argumentasi (dalil) baik
secara rasio (akal)[15]
bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, secara historis bahwa hingga
kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas di dunia Islam,
maupun secara naqli[16]
semacam hadis yang mengatakan bahwa “Allah Swt itu indah dan menyukai
keindahan“.[17]
Dalam konteks kaligrafi pun demikian, para ulama
terbagi menjadi dua aliran utama. Kelompok mayoritas (jumhur) membenarkan dan
membolehkan tulisan kaligrafi, sementara sebagian kecil melarang dan
mengharamkannya. Diantara argumentasi yang diungkapkan oleh kelompok mayoritas
adalah firman Allah Swt:
“Nun, demi qalam (pena) dan apa yang mereka
tulis.” (QS. Al-Qalam [68]: 1)
Ketika menafirkan ayat ini, Ibnu Katir mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kata al-Qalam adalah alat yang digunakan untuk
menulis. Ayat ini seperti firman Allah Swt dalam QS. Al-’Alaq [96] ayat 1-5.
Sumpah pada ayat di atas (wa al-qalami) merupakan peringatan bagi umat
manusia atas nikmat berupa keahlian menulis yang dengannya ilmu pengetahuan
dapat diperoleh. Karena itu, redaksi selanjutnya berbunyi wa mâ yasthurûn
(dan apa yang mereka tulis).[18]
Berdasarkan ayat ini maka menulis, termasuk di
dalamnya menulis kaligrafi, masuk dalam cakupan perintah menulis dalam ayat
tersebut di atas dan ayat 1-5 surat Al-’Alaq. Keumuman redaksi yang digunakan
dalam dua surat tersebut mengindikasikan bahwa Allah Swt tidak melarang
sesorang menulis dengan gaya apapun, termasuk dengan model kaligrafi. Bahkan
pemilihan kata al-Qalam (pena) sendiri mengindikasikan bahwa tulisan
yang digoreskan harus benar dan indah. Sebab diantara makna turunan kata al-qalam
adalah keteraturan, kebersihan dan keindahan.
Terkait perintah menulis ini, Ibnu Taimiyah juga
menyatakan bahwa mempelajari tulisan atau belajar menulis adalah salah satu
cara untuk mendapat kemuliaan dan kehormatan. Maka, hendaklah kita belajar
menulis, sebab orang yang bisa menulis berarti telah memperoleh kemuliaan,
sementara orang yang tidak bisa menulis berarti telah mendapatkan kerugian.
Namun kemampuan menulis sebaiknya digunakan untuk menulis hal-hal yang baik dan
bermanfaat, dan tidak digunakan untuk menulis sesuatu yang membawa madharat dan
bahaya bagi sesama.[19]
Dasar kedua adalah beberapa hadis Nabi Saw
tentang perintah menulis Al-Qur’an dan mengajarkannya.[20] Juga hadis yang berbunyi bahwa:
إن الله جميل يحب
الجمال.
“Allah itu Maha Indah dan mencintai
keindahan.”
Redaksi hadis ini sangat jelas bahwa Allah itu
Maha Indah dan mencintai keindahan. Karenanya tulisan kaligrafi adalah salah
satu bentuk ekspresi keindahan yang diungkapkan seorang hamba. Sepanjang
tulisan kaligrafi tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah bahasa Arab, maka ia
dibolehkan dan bahkan dalam kondisi tertentu diwajibkan. Hal ini sebagai salah
satu bentuk pengamalan dari hadis tersebut.
Secara historis, tradisi menulis kaligrafi juga
diamini dan bahkan dikembangkan oleh umat Islam sejak zaman klasik. Kemudian
tradisi ini secara terus menerus mengalami perkembangan cukup pesat seiring
dengan detak nadi zaman. Oleh karena alasan-alasan itulah maka mayoritas ulama
membolehkan tulisan kaligrafi. Namun demikian, sebagian kalangan memberikan
catatan, agar tulisan kaligrafi –khususnya yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an-
tidak dikomersialisasikan secara berlebihan (israf), karena hal itu
dikhawatirkan dapat merusak nama baik Islam dan memporandakan sakralitas
Al-Qur’an. Juga tidak boleh dijadikan atau diyakini sebagai sesuatu yang
memiliki kekuatan magis, karena dikhawatirkan akan menjerumuskan umat kedalam
kemusyrikan.
Di sisi lain, kelompok minoritas muslim
–khususnya kelompok ekstrim kanan- bahkan melarang dan mengharamkan kaligrafi
dengan berbagai argumentasi. Salah satunya adalah, tulisan kaligrafi diimpor
dari tradisi tulis menulis yang berkembang di kalangan Yahudi dan Nasrani,
sementara Islam otentik –menurut mereka- tidak memiliki ajaran seperti itu.
Islam hanya mengajarkan membaca dan menulis tanpa menjelaskan secara tegas
model tulisannya. Ini berarti bahwa kaligrafi tidak termasuk bagian dari ajaran
Rasul Saw. Sementara fenomena tulisan kaligrafi yang dikembangkan pada masa
dinasti Islam pasca Rasul sejatinya tidak bersumber dari ajaran Islam yang
orisinil.
F. Tipologi Kaligrafi
Secara garis besar, kaligrafi dapat dikelompokkan
menjadi dua aliran utama, yaitu kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama,
kaligrafi murni dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola
kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang
pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Kaligrafi murni
ini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts,
Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.[21] Penyimpangan atau pencampuradukkan satu dengan yang lain
dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan
rumus-rumus yang sudah ditetapkan.[22]
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa suatu
hasil karya kaligrafi murni tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan
kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu
tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut
Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan
penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak
sepasi harus diperhitungkan dengan serasi.[23]
Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai cara yang
berbeda-beda.
Kedua, lukisan kaligrafi adalah
model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi
yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam,
bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah
ditentukan.[24]
Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi kontemporer. Kaligrafi
kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak”
atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk
manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer
mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara
etika bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, yang membawa muatan
artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi
lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media
dakwah).
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya
cipta manusia sebagai hasil pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan
unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki
sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan
alam.[25] Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya
atau corak tulisan sehingga tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai
dengan keinginan penciptanya. Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi
pun sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan
umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air,
batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.
1] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. XXIV,
Oktober 1997), h. 95.
[2] Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudhor, Kamus
Al-’Ashri: Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, t.th.), h. 54
[3] Lihat Oloan Situmorang, Seni Rupa
Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Bandung: Penerbit Angkasa, cet.
X, 1993), h. 67
[4] Lihat D. Sirojuddin AR., Seni
Kaligrafi Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. I, Edisi II,
h. 3
[5] M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam
Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), h. 1
[6] Lihat M. Abdul Jabbar Beg, Seni di
dalam Peradaban Islam, Bab II, h. 1
[7] Berdasarkan hasil penelitian tentang
data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif
Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya
ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/
1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula
sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk
penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf arab tersebut (baca: kaligrafi)
memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan
pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam
mata uang logam, stempel, kepala surat dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai
dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa
atau Arab Pegon. Diskusi lebih mendalam dapat dilihat pada Hasan Muarif Ambary,
Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)
Ahmad Suudi, Konsep Kaligrafi Islami Amri
Yahya dalam Seni Lukis Batik, (Yogyakarta: FPBS-IKIP, 1995), h. 4
[9]
Peraturan Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) yang diterapkan pada MTQ saat itu,
belum menunjukan spesialisasi seperti sekarang. Dulu seorang khattath
menulis tiga kategori sekaligus: Naskah, Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal
istilah ‘Three in One”. Hampir dapat dipastikan, sebagian besar peserta
mengeluhkan teknis yang semacam itu. Betapa tidak, untuk menjadi peserta
dituntut memiliki tiga keahlian (skill) sekaligus-suatu tuntutan yang
sulit dipenuhi. Lihat
Ahmad Tholabi Kharlie, Mempertahankan Tradisi Via MKQ Cabang Penulisan
Buku, Makalah Pengantar Kaligrafi, Tidak Diterbitkan, h. 3Ahmad Tholabi Kharlie, Mempertahankan Tradisi Via MKQ Cabang Penulisan Buku, h. 3
D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, h. 8-9
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat
Naskhi, Tuntutan Menulis Huruf Halus Arab dengan Metode Komparatif,
(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 6
Lihat D. Sirojuddin AR., Seni kaligrafi Islam, h. 10
Yang dimaksud ambivalensi dalam konteks ini
adalah kebingungan dalam menentukan dua perasaan yang sama-sama muncul;
perasaan yang bertentangan. Seperti munculnya gerakan “pemberontakan” terhadap
kaidah-kaidah yang sudah baku dalam seni kaligrafi.
Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid,
Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1999), Cet. I, h. 13-17
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an,
(Bandung: Penerbit Mizan, cet. IX. Maret 1999), h. 389.
[17] Pengantar buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni
Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, h. v
[18] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhim, (Kairo: Dâr al-Manar, t.th.), Juz 3, h. 592
[19] Lihat Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Bairut: Dar Shadir, t.th.), h. 849
[20] Beberapa hadis itu antara lain adalah
hadis yang berbunyi: “Tulislah, barangsiapa menulis dariku selain
al-Qur’an, maka hapuskanlah” (HR. Tirmidzi); “Sebaik-baik kalian semua
adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
Muslim). Dua hadis ini disinyalir sebagai landasan utama dalam penulisan dan
pengajaran Al-Qur’an. Redaksi yang digunakan bersifat umum, tidak menunjukkan
dengan tegas model tulisan yang harus digunakan dalam penulisan Al-Qur’an
tersebut. Oleh karena itu, poin yang coba ditarik dari hadis pertama adalah
perintah menulis Al-Qur’an dengan berbagai metode dan cara, baik tulisan
kaligrafi maupun tidak, dengan syarat tidak bertentangan dengan kaidah bahasa
Arab (qawa’id al-lughah al-’arabiyah).
Khath Kufi disebut khath Muzawwa, yakni jenis tulisan Arab yang berbentuk siku-siku. Tulisan ini semula berasal dari khath Hieri (Hirah), suatu tempat bernama Hirah dekat Kufah, kemudian tulisan ini dikenal dengan nama Kufi. Khath Naskhi atau Nasakh merupakan salah satu tulisan kursif paling awal, namun memperoleh popularitas baru setelah dirancang kembali oleh Ibnu Muqlah pada abad ke-10 M. Khath Tsuluts pertama kali dirumuskan pada abad ke-7 M pada masa kekhalifahan Umayyah. Tsuluts berarti “sepertiga”—karena pertimbangan garis lurusnya terhadap garis lengkungnya, atau karena tulisan ini adalah sepertiga dari ukuran tulisan lain yang populer pada masa itu. Khath Farisi (Ta’liq) pertama kali berkembang di Persia pada masa pemerintahan Dinasti Safavid (1500-1800 M) kemudian Pakistan, India dan Tuki. Pada masa pemerintahan Shah Ismail dan Shah Tahmasp, perkembangan khath Farisi mengalami kemajuan yang pesat, sehingga tulisan ini menjadi satu-satunya tulisan yang berlaku di Persia. Khath Riq’ah adalah satu bentuk tulisan yang dapat ditulis dengan cepat, yang hampir mirip dengan cara menulis stenografi. Tulisan ini ditemukan pada abad 15 M. Khat Rayhani pertama kali dikembangkan pada abad ke-9 M oleh Ali ibn al-Ubaydah al-Rayhani, yang berasal dari khath Naskhi dan khath Tsuluts. Khath Diwani adalah perkembangan tulisan Usmaniyyah pada akhir abad ke-15 M, dari tulisan Ta’liq Turki oleh Ibrahim Munif. Khath Diwani Jali merupakan tulisan Diwani yang mengembangkan ragam ornamental, juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Diskusi lebih dalam mengenai hal ini dapat dilihat pada Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya, h. 68-97; dan Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: PT. Pantja Simpati, cet. I, 1986), h. 32-86
[22] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, h. 11
[23] Oloan Situmarang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan perkembangannya, h. 68
[24] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, h. 10-11
[25] M. Affandi, Ekspresi Simbolik, Religius
dan Estetika dalam Karya Lukis Kaligrafi, (Yogyakarta: FPBS-IKIP,
1994), h. 137
Wow....amazing ulasannya gan....
ReplyDeleteBAROKALLAH
Wow....amazing ulasannya gan....
ReplyDeleteBAROKALLAH
Wow....amazing ulasannya gan....
ReplyDeleteBAROKALLAH