Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..Alhamdulillah pada Pagi Hari ini Allah SWT. masih memberikan kesempatan roh kita menyatu dengan jasad kita. karena Rasulullah mengajarkan kepada kita saat bangun tidur dengan doa ''Alhamdulillahi lladzi radda ilayya ruha wa afani fi jasadi wa adzinali bizikri'' dan hari ini bertepatan pada hari jum'at 05,12,2014 jadi saya akan suguhkan kepada saudaraku sedikit penjelasan mengenai Khutbah Jum'at.
1. Definisi “khotbah”
Definisi secara bahasa
“Khotbah”, secara
bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata “khitbah”
yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti ‘melamar wanita
untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata
bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada pula
yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara
besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali
pada perkara besar.
Definisi secara istilah
Sebagian ulama
mendefinisikan “khotbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung nasihat
dan informasi’. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum. Adapun definisi yang
lebih jelas ialah definisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Al-Hufi yaitu, ‘Cabang
ilmu atau seni berbicara di hadapan banyak orang dengan tujuan meyakinkan dan
memengaruhi mereka’. Dengan demikian, khotbah harus disampaikan secara lisan di
hadapan banyak orang dan harus meyakinkan dengan argumen-argumen yang kuat
serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu berupa motivasi atau
peringatan.
Adapun terkait khotbah
Jumat, tidak terdapat definisi khusus yang diberikan oleh para ulama karena
maksudnya telah jelas.
Dalam kitab Bada’iush
Shana’i, pada pemaparan tentang hukum khotbah Jumat, disebutkan, “Khotbah,
secara umum, adalah perkataan yang mencakup pujian kepada Allah, salawat kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, doa untuk kaum muslimin
serta pelajaran dan peringatan bagi mereka.”
Penjelasan ini adalah
penjelasan umum dan bukan definisi yang teliti dan memenuhi syarat-syarat
definisi ilmiah.
Adapun definisi yang
hampir pas untuk “khotbah Jumat” ialah ‘perkataan yang disampaikan kepada
sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab,
sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta
diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai
tujuannya.
2. Definisi “Jumat”
Kata “Jumat” dalam
bahasa Arab bisa dibaca dengan tiga cara: jumu’ah, jum’ah,
ataujuma’ah. Adapun bacaan yang terkenal adalah “jumu’ah”.
Demikian pula cara baca padaqiraah sab’ah, dalam firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ
ذِكْرِ اللَّهِ
“Wahai orang-orang
yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka
bersegeralah mengingat Allah.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Adapun bacaan “jum’ah”
adalah bacaan ringan, yaitu dengan menghilangkan harakat pada huruf mim,
menjadi lebih mudah diucapkan. Adapun cara baca “juma’ah” berasal dari
sifat hari Jumat yang mengumpulkan banyak orang, seperti kata “humazah”
yang berarti ‘orang yang banyak mengumpat’ dan kata “dhuhakah” yang
berarti ‘orang yang banyak tertawa’. Bacaan “juma’ah” dalam bahasa Arab
dikenal sebagi dialek Bani Uqail. Adapun bentuk jamak kata “jumu’ah”
adalah “jumu’at” atau “juma’”.
Sebab penamaan hari
Jumat
Pada masa jahiliah,
hari Jumat disebut dengan hari Urubah, kemudian dinamakan “Jumat” beberapa saat
sebelum Islam datang. Adapun yang memberi nama hari Jumat adalah Ka’ab bin
Lu’ai. Tatkala itu, orang-orang Quraisy berkumpul mendatanginya pada hari itu,
kemudian ia berkhotbah dan memberikan pelajaran kepada mereka. Ada pula yang
berpendapat bahwa penamaan hari Jumat adalah setelah datangnya Islam.
Adapun tentang penyebab
penamaannya, ada beberapa pendapat, yaitu:
Pendapat pertama: Allah ta’ala menghimpun penciptaan Adam ‘alaihis
salam pada hari itu. Dasar pendapat ini adalah riwayat dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam; beliau ditanya, “Kenapa dinamakan hari Jumat?” Beliau
bersabda,
لِأَنَّ فِيهَا طُبِعَتْ طِيْنَةُ أَبِيكَ آدَمَ،
وَفِيهَا الصُّعْقَةُ وَالْبِعْثَةُ، وَفِيهَا البَطْشَةُ، وَفِي آخِرِ ثَلَاثِ
سَاعَاتٍ مِنْهَا سَاعَةٌ مَنْ دَعَا اللَّهَ فِيهَا اسْتُجِيْبَ لَهُ
“Karena pada hari
itu, tanah liat ayah kalian, Adam, dicetak. Pada hari itu, kiamat dan
kebangkitan terjadi. Pada hari itu pula, kehancuran melanda. Di akhir tiga
waktu pada hari itu, ada satu waktu, barang siapa yang berdoa kepada Allah pada
waktu itu pasti doanya dikabulkan.” (H.r. Ahmad, 2:113)
Pendapat ini dinilai sahih dalam Fathul
Bari dan Nailul Authar.
Pendapat kedua: Berkumpulnya orang-orang pada hari itu di Masjid Jami’ untuk shalat.
Pendapat ketiga: Allah mempertemukan Adam dan Hawa di bumi pada hari itu.
Pendapat keempat: Banyak kebaikan di dalamnya.
Sebagian pendapat di
atas, ada yang diambil dari makna kata “Jumat” dan sebagian disimpulkan dari
hadis dhaif. Namun, tidak ada masalah untuk menjadikan semua
pendapat di atas sebagai sebab penamaan hari Jumat. Allahu a’lam.
3. Hukum khotbah Jumat
Para ahli fikih berbeda
pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah termasuk syarat
shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar sunah sehingga
shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para ahli fikih
terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini
adalah pendapat Hanafiah dan mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat
yang sahih bagi mereka, demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan dalam kitab Al-Hawi,
“Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain Hasan Al-Bashri, karena
ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata, ‘Khotbah tidaklah
wajib.’”
Disebutkan pula dalam
kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah merupakan
syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak mengetahui
pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat kedua menyebutkan bahwa khotbah merupakan sunah Jumat. Ini merupakan
pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini juga
diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian pengikutnya
(Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Tarjih: Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama, bahwa
khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama menganggap
hal ini menyerupai ijma’.
Adapun dalil yang
menguatkan pendapat ini adalah dalil yang diambil dari Alquran, hadis, danatsar dari
sahabat serta tabi’in. Berikut ini pemaparan dalil-dalil tersebut.
Dalil Alquran
Firman Allah subhanahu
wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Ulama salaf berbeda
pendapat mengenai maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas. Sebagian
salaf mengatakan bahwa maknanya adalah ‘khotbah’, sedangkan sebagian yang lain
mengatakan bahwa maknanya adalah ‘shalat’. Ibnul Arabi menilai bahwa yang sahih
adalah kedua pemaknaan tersebut.
Adapun yang berpendapat
maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘khotbah’ menyatakan
kewajibannya dari dua sisi:
- Ayat tersebut merupakan perintah untuk bersegera menuju khotbah, sedangkan hukum asal perintah adalah wajib. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk bersegera menuju sesuatu yang wajib kecuali maknanya adalah “untuk memenuhi kewajiban”.
- Allah melarang jual beli ketika dikumandangkannya azan untuk khotbah Jumat. Dengan demikian, jual beli haram dilakukan pada waktu itu. Pengharaman jual beli menunjukkan wajibnya khotbah, karena sesuatu yang sunah tidak bisa mengharamkan yang mubah.
Adapun yang berpendapat
bahwa maksud “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘shalat’, menyatakan
bahwa khotbah termasuk dalam shalat. Seorang hamba mengingat Allah dengan
perbuatannya, sebagaimana ia bertasbih dengan perbuatannya pula.
Selain itu, Allah ta’ala juga
berfirman,
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا
إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
“Dan apabila mereka
melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
(perniagaan dan permainan itu) dan mereka meninggalkan dirimu yang sedang
berdiri (berkhotbah).” (Q.s. Al-Jumu’ah:11)
Allah ta’ala mencela
mereka karena mereka berpaling dan meninggalkan khotbah, sedangkan makna
“wajib” secara syariat ialah ‘sesuatu yang dicela karena ditinggalkan’.
Dalil hadis
Hadis riwayat Abdullah
bin Umar radhiallahu ‘anhuma; ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَقْعُدُ، ثُمَّ يَقُومُ، كَمَا تَفْعَلُونَ الآنَ
“Nabi berkhotbah
dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti yang biasa kalian
lakukan sekarang.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis riwayat Jabir bin
Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا. فَمَنْ
نَبَأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ صَلَّيتُ مَعَهُ
أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَي صَلَاة
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian
berdiri dan berkhotbah dengan berdiri. Siapa saja yang memberitakan kepadamu
kalau beliau berkhotbah dengan duduk, sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh,
aku telah shalat bersama beliau lebih dari dua ribu kali.” (H.r. Muslim,
2:589)
Walaupun kedua hadis di
atas hanya sebatas perbuatan Nabi yang tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi
hadis tersebut merupakan penjelasan dari kewajiban yang disebutkan secara umum
dalam ayat “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” (Q.s. Al-Jumu’ah:9).
Dengan demikian,
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di
atas merupakan penjelasan dari perintah yang umum, maka perintah itu menjadi
wajib. Wallahu a’lam.
Hadis lainnya yang
menjadi dalil adalah hadis Malik bin Al-Huwairits, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Lebih dari satu ulama
mengatakan bahwa seumur hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau tidak pernah shalat Jumat tanpa khotbah, sedangkan beliau telah
memerintahkan kita untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Kalaulah boleh
shalat Jumat tanpa khotbah, pasti beliau akan melakukannya walau sekali,
sebagai pengajaran atas kebolehannya, karena khotbah sangat berkaitan dengan
shalat Jumat dan merupakan bagian dari shalat Jumat.
Dalil atsar sahabat
dan tabi’in
Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anhu,
ia berkata,
الخُطْبَةُ مَوضُعُ
الرَكْعَتَيْنِ، مَنْ فَاتَتْهُ الخُطْبَةُ صَلَّى أَرْبَعًا
“Khotbah merupakan
tempat dua rakaat. Siapa saja yang terlewat dari khotbah maka hendaklah dia
shalat empat rakaat.”
وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّمَا جُعِلَت الخُطْبَةُ مَكَانَ
الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Dalam riwayat yang
lain, “Khotbah itu tidak lain dijadikan pengganti dua rakaat. Jika seseorang
tidak mendapatkan khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
Atsar di atas menunjukkan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dari dua
rakaat shalat zuhur. Oleh karena itu, keduanya adalah perkara wajib karena
merupakan bagian dari shalat, begitu pula hukum penggantinya.
Atsar di atas adalah atsar yang sanadnya terputus dan
tidak bisa dijadikan dalil. Kalaupunatsar tersebut benar-benar
perkataan sahabat, maka masih tetap ada perselisihan mengenai penggunaanya sebagai
dasar hukum. Adapun penyebuatan atsar tersebut di sini
hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil
dalam permasalahan ini.
4. Apakah yang menjadi
syarat satu atau dua khotbah?
Mayoritas ulama yang
mempersyaratkat khotbah untuk shalat Jumat berbeda pendapat: apakah cukup hanya
dengan satu khotbah atau harus dua khotbah. Dengan demikian, mereka terbagi
menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama, mempersyaratkan dua khotbah.
Pendapat ini merupakan
pendapat Imam Malik dalam satu riwayat darinya, demikian pula sebagian
pengikutnya (Malikiah). Begitu pula Syafi’iah dan juga riwayat yang masyhur
dari Imam Ahmad, juga merupakan mazhab bagi Hanabilah.
Pendapat kedua, tidak mempersyaratkan dua khotbah, bahkan satu khotbah saja sudah
mencukupi.
Pendapat ini merupakan
pendapat Hanafiah dan Imam Malik dalam satu riwayat darinya, begitu pula
sebagian Malikiah. Pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Tarjih: Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yang mempersyaratkan dua
khotbah untuk shalat Jumat. Berikut ini dalil-dalil yang menguatakan pendapat
tersebut.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah dengan berdiri.
Beliau memisahkan keduanya dengan duduk.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim,
2:589)
Hadis yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian
berdiri dan berkhotbah dengan berdiri.” (H.r. Muslim, 2:589)
Dari dua hadis di atas
jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah
dengan dua khotbah, sedangkan beliau bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Dalil berikutnya adalah atsar mengenai
dua khotbah yang merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur, sehigga
setiap satu khotbah merupakan pengganti satu rakaat. Oleh karena itu,
kekurangan satu khotbah itu seperti kurang satu rakaat.
Sebagai catatan, atsar yang
menyatakan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dua rakaat shalat zuhur tidak
bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus dan itu hanya perkataan sahabat.
Adapun penyebutan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai
isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam
permasalahan ini.
Source:
www.khutbahjumat.com
0 komentar:
Post a Comment